Oleh Ahmad Izzuddin
SAAT kancah perpolitikan para elite sedang panas-panasnya, saat itu pula ada seorang tua tetap istikamah dengan tugas mulia yang dilakukannya tiap Jumat. Yang dilakukan tidak demi harta ataupun dunia, apalagi bernuansa politik. Ia memilih mengalibrasi jam besar yang ada di mushala dan rumahnya. Waktu baginya sangat penting demi tepatnya awal waktu shalat dan keabsahan ibadah shalat jamaah.
Jika dia melakukannya tiap Jumat maka muslimin, termasuk di Jateng, bisa melakukannya pada Sabtu, 28 Mei 2011, untuk kembali mengkiblatkan masjid. Dalam sebuah Hadis, Rasulullah bersabda,’’ Apabila kamu melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudumu, kemudian menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah.’’ Para imam mujtahid pun bersepakat bahwa menghadap kiblat ketika shalat hukumnya wajib karena merupakan syarat sahnya shalat.
Persoalan ketidaktepatan arah kiblat pada sejumlah masjid, mushala, atau langgar di Indonesia bukan karena ada pergeseran lempengan bumi atau akibat gempa. Persoalannya lebih mendasar, yaitu pembangunan masjid kali pertama, termasuk penentuan arah kiblatnya, hanya berdasarkan ancar-ancar arah barat, atau diukur menggunakan kompas.
Dalam konteks kekinian, masyarakat perlu memahami bagaimana menentukan arah kiblat dengan baik agar tidak terjadi permasalahan. Pengalaman penulis selama ini menyimpulkan, masyarakat tidak memahami metode untuk menentukan arah kiblat dengan baik. Persoalan arah kiblat yang tepat 100% memang bukan hanya masalah ukur-mengukur melainkan mengait dengan persoalan sensitivitas agama dan ketokohan.
Ketika pengukuran tidak dilakukan oleh orang yang memiliki keilmuan di masyarakat misalnya, maka masyarakat tidak akan memercayai. Metode rasdul kiblat ini kiranya dapat dijadikan panduan atau cara yang bisa mempermudah. Memang ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk menentukan arah kiblat, di antaranya dengan perhitungan trigonometri bola yang diaplikasikan untuk mencari azimuth kiblat.
Seperti kita ketahui, sudut arah kiblat wilayah Indonesia berkisar dari 292 derajat sampai dengan 2.960 derajat sehingga jika dihitung dari arah barat antara 24 dan 26 derajat. Sudut kiblat juga dapat diaplikasikan dengan menggunakan beberapa alat, misalnya memakai rubu mujayyab, segi tiga kiblat, atau peralatan yang teknologinya sudah modern semacam teodolit dan global positioning system (GPS).
Mengecek Ulang
Adapun rasdul kiblat adalah cara tradisional yang tetap diyakini kesahihannnya. Metrode ini mendasarkan pada pencatatan bayang-bayang matahari pada waktu tertentu setelah kita mengetahui data lintang dan bujur tempat serta mengetahui lintang dan bujur Kakbah.
Rasdul kiblat bisa menjadi metode alternatif, dan Sabtu, 28 Mei 2011 (juga Sabtu, 16 Juli pukul 16.27 WIB) adalah waktu yang tepat untuk menerapkan pengecekan itu secara mudah dan praktis. Kita bisa mengeceknya dengan cara mendirikan tongkat di atas pelataran yang datar untuk mendapatkan bayangan kiblat pada jam tertentu.
Pada 28 Mei 2011, ketika matahari berkulminasi di atas Kakbah, waktu di Indonesia mengalami konversi waktu, sehingga bayangan matahari akan menunjuk arah kiblat pada pukul 16.18 WIB (atau pukul 17.18 Wita dan pukul 18.18 WIT). Bayangan yang terlihat itulah yang menunjukkan arah kiblat.
Bayangan kiblat ini dideskripsikan dengan posisi matahari yang memiliki nilai deklinasi yang hampir sama dengan lintang Kakbah. Ketika bayangan matahari tiap benda yang berdiri tegak lurus pada pukul 12.00 MMT (Makkah Mean Time) ini menunjukkan arah kiblat, maka bayangan matahari pada tiap benda yang berdiri tegak di kota Semarang pun akan membentuk garis kiblat.
Gambaran itu terjadi ketika matahari muncul dari timur sehingga bayangan tongkat pada pukul 16.18 WIB membentuk garis ke timur, serong ke utara (membelakangi arah kiblat). Saat itu pula, kita bisa mengecek ulang arah kiblat masjid, langgar, termasuk mushala di rumah, dengan memanfaatkan Hari Kiblat tersebut. Tujuannya hanya satu, yakni lebih memantapkan ibadah shalat.
— H Ahmad Izzuddin MAg, Ketua Asosiasi Dosen Falak Indonesia, Ketua Pusat Layanan Falakiyah (Puslafalak) IAIN Walisongo Semarang, Direktur Lembaga Hisab Rukyah Al-Miiqaat Jawa Tengah